Analis Hukum Tindak Pidana Hacking ( HACKER )

Analis Hukum Tindak Pidana Hacking ( HACKER )

Selasa, 29 Juni 2021

       
Rusdianto Sudirman, S.H, M.H Akademisi dan Praktisi Hukum (Ist).

Soppeng (Sulsel), Rajapena.com,- Tindak pidana peretasan (Hacker) adalah salah satu bagian dari kejahatan dunia maya atau cyber crime yang muncul karena kemajuan teknologi.

Untuk itu Negara telah mengatur Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 Tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik yang selanjutnya disebut dengan UU ITE yang sanksi pidananya telah diatur dalam Pasal 46 ayat (1), (2), (3) UUITE.

Masih hangat dalam ingatan kita terkait penangkapan puluhan pemuda di kab. Soppeng yang di duga melakukan tindak pidana peretasan (hecking) untuk membobol kartu kredit. Tindakan tersebut dilakukan tidak hanya semata-mata untuk mencari keuntungan dan menemukan titik lemah dari si target. Kejahatan ini dapat digolongkan lebih relatif baru jika dibandingkan dengan kejahatan konvensional lainnya yang selalu mudah dijangkau oleh telinga masyarakat. Bahkan sampai saat ini para ahli belum menyepakati untuk memberikan defenisi baik itu kejahatan dunia maya (cyber crime) maupun tindak pidana peretasan itu sendiri. Meskipun demikian telah banyak yang menggunakan istilah Siber, kejahatan dunia maya, kejahatan virtual, dan bahkan tetap menggunakan istilah cyber crime.

Jika berdasar pada ketentuan ruang lingkup berlakunya hukum pidana, dalam kasus peretasan (hacking) ini telah diatur dalam KUHP dalam BAB 1 Buku kesatu mengenai batas-batas berlakunya suatu aturan dalam hukum pidana, yang mana hal tersebut termuat sembilan pasal dimulai pasal 1 sampai dengan pasal 9. Dalam pasal 1 tersebut diatur mengenai batas berlakunya suatu hukum pidana berdasarkan waktu, sedangkan pasal 2 sampai pasal 9 memuat mengenai batas berlakunya hukum pidana berdasarkan atas tempat terjadinya.

Salah satu tantangan penegakan hukum khususnya dalam kejahatan dunia maya memiliki jangkauan yang sangat luas tanpa mengenal batas wilayah teritorial suatu negara, karena kejahatan ini bersifat transnasional. Konon katanya korban pembobolan kartu kredit yang dilakukan sekolompok pemuda di soppeng ini adalah warga negara asing. Sehingga kejahatan yang tidak mengenal batas ini mengharuskan yurisdiksi suatu negara terlibat langsung di dalamnya karena sangat jauh dari jangkauan suatu negara. Jika tanpa melakukan kerja sama antar negara kejahatan yang bersifat transnasional ini akan menimbulkan masalahnya sendiri berkenaan dengan yurisdiksi.

Salah satu yang sering menjadi masalah sangat pelik yaitu kendala sebuah teritorial batas negara. Yurusdiksi dalam hal ini telah mencakup dan bertanggung jawab atas orang, benda atau peristiwa hukum yang terjadi didalamnya. Hukum internasional telah membagi prinsip yang dapat menjadi acuan dalam masalah yurisdiksi yakni prinsip teritorial, prinsip nasionalitas, prinsip perlindungan, dan prinsip universal (Mansur & Gultom, 2005).

Salah satu cara yang dapat dilakukan oleh negara yang memiliki yurisdiksi terhadap pelaku kejahatan yang berada di negara lain adalah dengan meminta kepada negara di tempat pelaku tersebut berada agar dapat menangkap pelaku tersebut. Pertanyaanya sekarang adalah apakah korban pembobolan kartu kredit yang merupakan warga negara asing (WNA) sudah melaporkan ke institusi kepolisian yang ada di negaranya? Dan apakah institusi kepolisian negara lain sudah menghubungi institusi Kepolisian Republik Indonesia (POLRI) untuk menangkap pelaku hacker yang ada di kab. Soppeng???

Oleh karena itu Kejahatan dunia maya (Cyber Crime) memang membutuhkan kerjasama antar negara. Yurisdiksi terhadap kejahatan dunia maya khususnya dalam tindak pidana peretasan (hacking) dapat dilaksanakan melalui kerja sama internasional berupa ekstradisi, bantuan hukum timbal balik, dan kerja sama antar penegak hukum.

PEMBUKTIAN DALAM CYBER CRIME

Dalam proses penyidikan kasus cyber crime, alat bukti elektronik memiliki peran penting dalam pengungkapan kasus. Alat bukti dalam kasus cyber crime berbeda dengan alat bukti kejahatan lainnya dimana sasaran atau media cyber crime merupakan data-data atau sistem komputer/internet yang sifatnya mudah di ubah, dihapus, atau di sembunyikan oleh pelaku kejahatan. Sehingga hal tersebut mengakibatkan kurangnya alat bukti yang sah jika berkas perkara tersebut dilimpahkan ke pengadilan untuk disidangkan sehingga terdakwa berpotensi akan di nyatakan bebas.

Pembuktian dalam UU ITE di atur dalam pasal 5 dan pasal 6 mengenai pembuktian elektronik yang menerangkan bahwa informasi elektronik dan/atau hasil cetakannya merupakan alat bukti hukum yang sah apabila menggunakan sistem elektronik sesuai dengan ketentuan yang di atur dalam UU ITE. Informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik merupakan perluasan dari alat bukti yang sah sesuai dengan KUHAP. Maka dari itu di butuhkan keterangan ahli Informasi dan Teknologi untuk menjelaskan keabsahan alat bukti elektronik yang berkaitan dengan kejahatan cyber crime. Jadi idealnya dalam kasus cyber crime Terdakwa atau Kuasa Hukum dan Penuntut Umum masing-masing mengajukan saksi ahli untuk memperkuat dakwaan dan pembelaannya. Dengan begitu upaya penegakan hukum dalam kejahatan cyber crime dapat berjalan fair tanpa harus ada pihak yang merasa di rugikan.

Selain keterangan ahli ITE, dalam kasus hacking dan pembobolan kartu kredit warga negara asing yang dilakukan sekolompok pemuda kab. Soppeng, penyidik seharusnya menghadirkan Pejabat Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) untuk menganalisis traksaksi keuangan yang masuk dalam rekening para pelaku. Hal tersebut penting untuk mengungkap secara jelas proses masuknya uang dari luar negeri kemudian masuk ke rekening para pelaku. Apakah dalam bentuk dollar, kripto, bitcoin atau alat pembayaran lainnya. Dengan begitu selain dapat dijerat dengan UU ITE, para pelaku juga dapat di jerat dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 Tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang. Sehingga segala aset yang merupakan hasil kejahatan dapat di sita oleh negara. Tentu dalam proses peradilan nantinya akan ada mekanisme pembuktian terbalik untuk membuktikan aset yang di miliki adalah hasil kejahatan atau bukan.

Sebagai suatu proses yang bersifat sistemik, maka penegakan hukum pidana terhadap tindak pidana hacking dapat menampakkan diri sebagai penerapan hukum pidana (criminal law application) yang melibatkan berbagai sub sistem stuktural berupa aparat kepolisian, kejaksaan, pengadilan, dan pemasyarakatam. Termasuk didalamnya tentu saja Ogranisasi Advokat.