Soppeng (Sulsel9, Rajapena.com, -Pengamat Hukum Rusdianto Sudirman menilai Perda tentang Pendisiplinan Protokol Kesehatan Covid 19 di Kab. Soppeng mendesak diterbitkan. Pasalnya dalam Surat Edaran Nomor 03/Satgas-Covid-29/1/2021 saat ini masih lemah baik dalam penegakan hukum ataupun sanksinya. Karena dalam sistem hukum di Indonesia yang bisa mengatur pemberian sanksi kuat adalah Undang-undang, Perppu, atau Perda," kata Rusdianto dalam rilisnya ke tribun soppeng, Sabtu (23/1/2021).
Rusdianto menjelaskan, sejauh ini aturan mengenai PSBB di bawah payung hukum Inpres No 6 Tahun 2020. Hukum itu memberikan sanksi bagi pelanggar protokol kesehatan yang selanjutnya presiden memerintahkan kepala daerah untuk menyusun peraturan. Namun, pada umumnya kepala daerah menerbitkan Pergub, Peraturan Bupati, atau Peraturan Wali Kota karena dianggap lebih cepat.
"Tetapi persoalannya ketika di dalamnya mengandung sanksi. Itu tentu jadi lemah, tidak bisa dianggap sebagai sebuah aturan yang terus menerus," jelasnya. Selanjutnya di dalam Perbup itu sifat aturannya eksekutif. Artinya tidak ada dari partisipasi publik dalam penyusunan aturan, sehingga kalau peraturan disusun dalam bentuk Perda akan melibatkan partisipasi publik. "Di situ masyarakat memberikan masukan kepada pemerintah," jelasnya.
Menurutnya pandemi covid-19 ini belum diketahui kapan berakhir maka PSBB pun diperkirakan akan terjadi dalam jangka waktu yang panjang. Sehingga kalau terus menggunakan Perbup apalagi surat edaran yang tumpang tindih antara Peraturan satu dengan yang lainnya, maka penerbitan Perda PSBB dinilai perlu dilakukan. "Sehingga memang secara tingkat kemendesakan, Perda PSBB ini perlu diterbitkan," tandasnya.
Selain itu rujukan sanksi dalam perda nantinya harus mengacu pada UU Kekarantinaan Kesehatan Kesehatan dan UU Wabah Penyakit Menular. Hanya saja, Rusdianto meminta Pemda Soppeng nantinya menyelaraskan ketentuan sanksi dalam Perda tersebut dengan ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, peraturan yang memuat sanksi hanya Undang-Undang atau Perpu dan Perda. "Sanksi merupakan pengurangan hak seseorang atau warga negara dan karena merupakan pengurangan hak, produknya harus dihasilkan oleh pemerintah dan perwakilan masyarakat, dalam hal ini DPRD," ujar Rusdianto lagi.
Ada 2 (dua) peraturan perundang-undangan yang dapat dijadikan acuan tentang jenis sanksi yang dapat dimuat dalam Perda, yaitu; Undang-undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (UUPPP) dan Undang-undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah (UUPD). Pasal 15 UUPPP menyebutkan:
"Materi muatan mengenai ketentuan pidana hanya dapat dimuat dalam Undang-undang dan Peraturan Daerah." Sementara Pasal 238 UUPD menyebutkan: (1) Perda dapat memuat ketentuan tentang pembebanan biaya paksaan penegakan/pelaksanaan Perda seluruhnya atau sebagian kepada pelanggar sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan; (2) Perda dapat memuat ancaman pidana kurungan paling lama 6 (enam) bulan atau denda paling banyak Rp50.000.000,- (lima puluh juta rupiah); (3) Perda dapat memuat ancaman pidana kurungan atau denda selain dimaksud pada ayat (2), sesuai dengan yang diatur dalam peraturan perundang-undangan.
Sesuai dengan ketentuan Pasal 7 ayat (1) UUPPP, disebutkan bahwa jenis dan hierarki Peraturan Perundang-undangan adalah sebagai berikut: a. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; b. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat; c. Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang; d. Peraturan Pemerintah; e. Peraturan Presiden; f. Peraturan Daerah Provinsi; dan g. Peraturan Daerah Kabupaten/Kota. Sesuai dengan pasal ini, maka status Perda tidak menjadi lebih rendah dari Peraturan yang dikeluarkan pemerintah dalam bentuk Keppres, Permen, dan Kepmen, karena aturan tersebut tidak masuk dalam hierarkis.
"Jadi, hanya Perda yang boleh mencantumkan sanksi di tingkat daerah, dan dengan Perda itu pula, Pemda Soppeng tetap bisa memberikan sanksi kepada pelanggar PSBB ataupun pelanggar protokol kesehatan ," tutur Rusdianto lagi.
Untuk itu, Rusdianto meminta Pemda Soppeng segera melakukan koordinasi dengan DPRD agar merumuskan Peraturan Daerah dengan melibatkan partisipasi publik khususnya para pelaku usaha yang terkena dampak dari adanya PSBB. Dengan semangat kebaikan bersama, Rusdianto percaya, DPRD akan cepat memproses Draft Perda tersebut dan dapat memberikan persetujuan cepat.
Sesuai dengan ketentuan Pasal 242 UUPD, Rancangan Perda yang telah disetujui bersama oleh DPRD dan Kepala Daerah disampaikan oleh pimpinan DPRD kepada Kepala Daerah dalam jangka waktu paling lama 3 (tiga) hari terhitung sejak tanggal persetujuan bersama untuk ditetapkan sebagai Perda.
Selanjutnya, Bupati wajib menyampaikan rancangan Perda kepada Menteri Dalam Negeri (Mendagri) paling lama 3 (tiga) hari terhitung sejak menerimanya dari pimpinan DPRD. Kemudian, Mendagri memberikan nomor register paling lama 7 (tujuh) hari sejak diterima. Rancangan Perda yang telah mendapat nomor register ditetapkan oleh Bupati dalam jangka waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari sejak rancangan itu disetujui bersama. Apabila dalam jangka waktu tersebut tidak ditetapkan, maka rancangan Perda tersebut sah menjadi Perda.
"Jika DPRD sudah menyetujui, tidak dalam waktu satu minggu pembentukan Perda tersebut bisa dilaksanakan, dan saya yakin dalam perbedaan politik apapun, seluruh anggota DPRD juga akan bersepakat mendukung upaya penanganan Covid di Kab. Soppeng termasuk penyusunan dan penetapan Perda Sanksi selama PSBB. Jika ada warga yang menggugat Perda tersebut, dipastikan akan sulit untuk dikalahkan. Tapi jika dasarnya Perbup apalagi Surat Edaran, Rusdianto khawatir, warga yang cukup paham hukum tidak akan taat karena dasar hukum produknya terlalu lemah," tutup Rusdianto. (Resi).